Diposkan pada Film, Musik dan Buku, Semesta di kepalaku

In The Footsteps of Prophet : Lessons from the Life of Muhammad by Tariq Ramadan

Ada ribuan buku yang telah ditulis tentang sosok Nabi Besar Muhammad saw di dunia ini. Entah itu berupa kitab, biografi ataupun telaah kritis yang ditulis baik oleh penulis muslim ataupun bukan muslim. Kita mengenal banyak sirah nabawiyah yang ditulis oleh berbagai ulama klasik seperti Ibnu Hisyam atau ulama di masa sekarang seperti DR.Said Ramadhan Al Buthi, kita membaca banyak biografi yang ditulis oleh akademisi muslim seperti Fethulah Gullen dan kita juga mengetahui ada banyak yang mengagumi Nabi walau bukan pengikutnya, seperti Washington Irving dalam Life of Mahommet-nya. Setiap buku tentang Muhammad, pada dasarnya menceritakan hal yang sama, kronologis yang sama, kisah yang sama, namun setiap membacanya, selalu ada kebijaksaan, wawasan dan inspirasi baru tercipta.

Saya sendiri rupanya belum pernah benar-benar menuntaskan membaca satu buku tentang kehidupan Nabi Muhammad kecuali memang itu berbentuk novel, yang tentu saja tidak menceritakan keseluruhan fakta sejarah yang ada. Maka pada Ramadhan ke 1437 ini, ketika ada sebuah gagasan mengenai Ramadhan adalah bulan literasi, saya merasa saya harus menuntaskan membaca keseluruhan cerita hidup Nabi Muhammad saw yang selama ini saya terima secara sepotong-sepotong dari beberapa buku dan majelis ilmu. Sejak pertama kali melihat ada buku ini, saya secara langsung membelinya. In The Footsteps of Prophet : Lessons from the Life of Muhammad,yang oleh penerbit Serambi diterjemahkan dengan judul Biografi Intelektual-Spiritual Muhammad, Pelajaran Hidup dari Perjalanan Hidup Rasulullah adalah buku yang membuat saya begitu ingin membacanya karena sosok pengarangnya, Tariq Ramadan.

22595657_a2e62531-768c-4a66-9913-e648acab6d59

Tariq Ramadan, adalah seorang intelektual muslim yang namanya mendunia karena gagasan-gagasannya tentang Islam dan perdamaian menawarkan konsepsi baru dalam toleransi di dunia barat. Ia tumbuh dalam keluarga yang menjalankan praktek keislaman secara ketat ketika ayahnya, yang merupakan anak dari pendiri gerakan Ikhwanul Muslimin Hasan Al Banna, harus menjalani pengasingan karena tekanan rezim pemerintah negaranya. Majalah TIME pernah memasukkannya ke dalam salah satu inovator dunia di bidang spiritualitas karena pandangan-pandangannya tentang posisi umat Islam di dunia dapat diterima secara luas oleh baik kalangan muslim atau non muslim. Ceramah-ceramahnya lebih banyak mengajak untuk memikirkan kembali, merenungi dan menemukan sendiri daripada hanya sekedar memberi tahu.

Setidaknya, isi buku ini telah tercermin dari ucapan terimakasih penulis yang belum apa-apa sudah mampu membuat saya meneteskan air mata. Tariq Ramadan mengatakan, bahwa buku ini baginya adalah sebuah inisiasi, perjalananya sendiri, pengemembaraannya menembus ruang dan waktu, untuk menemukan dirinya sendiri. Dalam keheningan ketika membacanya, saya merasa dibawa ke alam kontemplasi. Tentang bahasa yang menggugah, menawarkan kelembutan, di sisi lain penuh ketajaman dan kecerdasan analisis, Tariq Ramadan memberikan itu semua. Maka pada berlembar-lembar halaman berikutnya, saya memilih membersamainya dalam kesendirian, untuk membuka perjalanan saya sendiri terhadap kehidupan nabi, untuk membiarkan air mata saya tertumpah merasakan beratnya kehidupan nabi . Dan barangkali pada Ramadhan saya yang kedua tujuh inilah, saya berjalan mencari diri saya sendiri.

Tentang Bagaimana Nabi Terdidik

Kehidupan Muhammad merupakan kisah hidup yang berat bahkan semenjak lahirnya. Beliau yatim sejak dalam rahim ibundanya, yang kemudian disusul dengan kematian orang-orang dekatnya ketika ia masih kecil. Pada empat tahun pertama kehidupannya, ia disusui dan diasuh oleh Halimah dan tinggal bersama Bani Sa’d, Suku Badui d padang pasir Arab.

“Bukankah Dia mendapatimu sebagai sorang yatim, lalu Dia melindungimu? Dan dia mendapatimu sebagai seorang yang bingung, lalu Dia memberi petunjuk. Dan dia mendapatimu sebagai seorang yang kekurangan, lalu Dia memberikan kecukupan. Oleh karena itu, janganlah kamu berlaku sewenang-wenang terhadap anak yatim. Dan janganlah kamu menghardik orang yang meminta-minta. Dan terhadap nikmat dari Tuhanmu hendaknya engkau menyebut-nyebutnya (dengan bersyukur). (QS 93:6-11)

Berdasarkan penjelasan Al Qur’an tersebut, Tariq Ramadan menyimpulkan bahwa Muhammad terlahir sebagai seorang yatim yang miskin adalah sebuah inisiasi untuk menjadi utusan Tuhan di masa depan. Dari identitas itulah setidaknya ada dua alasan yang dapat dikemukakan. Pertama keyatimannya, yang kemudian ditambah dengan kepergian ibunya, di usia dimana kerentanan adalah hal alamiah yang terjadi telah membuatnya benar-benar bergantung pada Tuhan. Sedangkan kemiskinan telah membuatnya dekat dengan orang fakir. Maka dari pendidikan inilah, sepanjang hidupnya, Rasulullah adalah orang yang tak pernah meninggalkan orang-orang yang terpinggirkan dan membutuhkan bantuannya, terlepas dari identitas yang mengikutinya. Beliau selalu ada di sisi orang miskin dan menyayangi anak yatim.

Muhammad menjalani kehidupan keras kaum nomad di alam yang tandus dan keras dimana sejauh mata memandang, cakrawala merasa tak berbatas. Ini yang kemudian memunculkan sebuah perenungan tentang betapa terbatasnya diri manusia, betapa manusia hidup dalam dunia yang amat fana. Itulah kenapa padang gurun adalah wilayah yang kerab kali dekat dengan kenabian. Orang nomad, kata Tariq Ramadan, belajar untuk selalu berpindah, menjadi terasing, dan memhami siklus waktu di pusat ketidakterbatasan ruang. Kondisi yang meerupakan pengalaman kaum beriman.

Tuhan mendidik Muhammad melalui alam, pada tahun-tahun pertama kehidupannya. Pelajaran ini telah membentuk konsepsi Muhammad tentang penciptaan, kedekatan dengan alam, menghargai keberadaannya, pengamatan dan perenungan. Disitulah manusia belajar membaca pertanda dan makna. Maka di awal hidupnya, seorang Rasul Allah ini, terdidik untuk memahami esesi melalui alam dan cakrawala tak berbatas. Alam, merupakan panduan utama dan kawan setia keimanan, kata Tariq Ramadan.

Pada tahun-tahun berikutnya, Muhammad muda menjadi penggembala untuk mencari penghidupannya. Pelajaran ini telah membuatnya amat memahami arti kemandirian dalam hidup dan kerjanya. Selain itu, kehidupan menjadi penggembala, juga mengasah kesendiriannya, kesabarannya dan kewaspadaannya. Kualitas yang amat diperlukan untuk menjadi pemimpin manusia. Muhammad, menggembala ternak, sebelum memimpin kaumnya.

Kehidupan Sebelum Kenabian
Setelah kematian kakeknya, Abdul Muthalib, paman Muhammad, Abu Thalib yang kemudian menjadi walinya, mengalami kesulitan ekonomi. Muhammad mulai mencari penghidupannya sejak masih muda dan berusaha membantu anggota keluarganya. Pada usianya yang kedua belas, ia mulai mengikuti kafilah dagang ke Syiria. Kehidupan sebagai pedagang inilah yang mengasah kepribadiannya hingga secara sosial ia dipandang sebagai pemuda yang jujur, terpercaya, adil dan efisien. Pengakuan akan kualitas moralnya jauh mendahului misi kenabiannya.

Secara politik, dalam kehidupan masyarakat Arab yang kala itu dipenuhi konflik, Muhammad mampu membangun reputasi mengangumkan atas kecerdasan dan ketajaman intuisinya mengatasi konflik. Ketika terjadi keributan atas peletakkan Hajar Aswad, Muhammad tampil sebagai penengah. Ia meredakan perselisihan dengan meletakkan Hajar Aswad di atas jubah yang kemudian dipegang oleh masing-masing perwakilan suku sehingga dengan begitu setiap suku merasa berperan atas peletakan batu hitam. Ketika usianya tiga puluh lima, Muhammad telah dipandang sebagai penerus kejayaan klan Bani Hasyim oleh karena kecerdasan, kebijaksanaan termasuk kehidupan pernikahannya dengan seorang wanita terhormat, Khadijah binti Kuwailid.

Pada masa dimana namanya mulai dikenal baik dalam masyarakat Arab, Muhammad justru banyak melakukan pengasingan diri. Ia tidak meminati hiruk pikuk ketenaran. Ini adalah bentuk kehidupan spiritualnya sebelum masa kenabian datang. Muhammad pergi ke Gua Hira, berhadapan dengan alam secara langsung, memandangi padang gurun, berdiam menyepi mencari makna dan kebenaran. Segala ritus penyembahan terhadap berhala yang dilakukan masyarakatnya tak pernah sekalipun ia lakukan. Ia terlindung dari segala bentuk tuhan palsu. Dan kesendiriannya adalah sebuah upaya mendapatkan jawaban atas segala kegelisahan hatinya dalam mencari kebenaran.

Ketika usianya menginjak empat puluh tahun, dimana siklus pertama kehidupannya berakhir, pada Ramadhan tahun 610 untuk pertama kalinya Jibril datang menyapanya dengan sebutan Rasul Allah, Utusan Tuhan.

Masa Kenabian
Barangkali, masa-masa di Makkah setelah turunnya wahyu pertama, adalah waktu terberat Nabi. Pada masa transisi, seseorang seringkali dihadapkan pada situasi yang membutuhkan ketahanan psikis lebih daripada sekadar tenaga dan pikiran. Aisyah meriwayatkan bahwa pernah terjadi kevakuman turunnya wahyu selama hampir dua setengah tahun. Selama itu Nabi diliputi rasa tertekan dan keraguan akan statusnya sebagai Rasul. Kesedihan yang mendalam pernah membuat Nabi hendak menjatuhkan diri dari bukit yang terjal. Tapi setiap kali beliau sampai puncak, Jibril menampakkan diri dan menyebutnya Rasul Allah.

Misi pertama kenabian, dilakukan secara sembunyi-sembunyi. Dengan diam-diam nabi mengumpulkan pengikiut-pengikut awalnya. Mereka yang pertama-tama menjadi pengikut Nabi inilah generasi pertama Islam pertama yang keteguhannya dikenal melampaui zaman sekaligus pembela Islam paling teruji.

Perubahan adalah musuh abadi keterpakuan. Termasuk apa yang dibawa Nabi kepada kaumnya. Ajaran Islam akan dapat meruntuhkan sendi-sendi budaya dan kekuasaan yang selama berabad-abad berlaku di Makkah. Nabi pun telah memperkirakan hinaan dan cacian yang akan didapatnya dari masyarakat. Dan apa yang dilakukan terhadap Beliau, amat jauh dari kesan kemanusiaan.

Nabi dicerca, disebut gila, dilempari batu. Nabi dikucilkan, dan pada puncaknya juga mengalami embargo secara ekonomi dan ancaman pembunuhan. Abu Jahl pernah menghinanya secara bertubi-tubi hingga membuat yang mendengarnya merasa telah melanggar aturan kesopanan. Hamzah, paman Nabi kemudian turun tangan untuk melindungi Nabi. Setelah itu, sasaran kebencian beralih pada sahabat-sahabatnya.

Terhadap segala ujian yang amat berat ini, Nabi senantiasa meminta sahabat-sahabatnya untuk bersabar sembari Beliau mencari cara untuk meringankan derita sahabat-sahabatnya. Namun terhadap segala cobaan ini, Nabi menetapkan batasan kompromi yang Beliau katakan terhadap para penentangnya, bahwa dirinya tak akan berhenti menyampaikan misinya, bertawakal kepada Tuhan dan bersabar menerima resiko dari keputusan tersebut di dunia ini. Betapa keteguhan pemimpin adalah kekuatan bagi pengikutnya.

Nabi pergi meninggalkan kampung halamannya, Makkah, secara sembunyi-sembunyi, dengan kepala tegak dan gengsi yang tinggi. Delapan tahun setelahnya, Nabi kembali pulang, sebagai pemenang namun dengan merunduk penuh rasa syukur. Nabi memasukki Makkah, dengan kerendahan hati yang mendalam dan memperlihatkan kasih sayang paling luhur bagi bekas musuhnya.

Tariq Ramadan, menceritakan berbagai peristiwa dalam masa kenabian Nabi, yang kelak menjadi tuntunan manusia sepanjang masa, dengan narasi indah yang membuat kita seolah-olah sedang berada di dekat Nabi,menyaksikannya sendiri. Dengan begitu pula kita merasa bahwa Nabi juga adalah seorang manusia biasa seperti kita sekaligus menyadarkan betapa ada manusia seperti Beliau ini.

Dalam Sejarah, Dalam Keabadian
Nabi Muhammad, adalah hadiah dari Tuhan untuk sekalian manusia. Beliau hadir, mengajarkan manusia segala titik terkecil hingga terbesar untuk kebaikan umat manusia. Pada beratnya kehidupan yang dijalani tiap-tiap manusia, Nabi menanggung beban yang paling berat. Pada setiap kesenangan yang disenandungkan tiap-tiap manusia, Nabi adalah yang paling sederhana menunjukkannya. Tidak kurang dan tidak berlebih, maka sebaik-baiknya sikap adalah yang di pertengahan.

Spritualitasnya yang mendalam, telah mampu membuat sinar kepribadiannya berpendar menjadi teladan zaman. Nabi adalah pemimpin yang cerdas pun mendengarkan pendapat sahabat-sahabatnya. Nabi berada dalam peperangan, sekaligus menetapkan syarat yang paling mutlak tentang etika berperang. Nabi mengasihi dan memaafkan siapa saja yang datang kepadanya dengan dosa. Nabi mengasihi dan memaafkan, bahkan pada mereka yang di masa lalu menjadi penentangnya yang paling lantang. Nabi mengerti karakter setiap sahabatnya, sehingga dalam keadaan apapun, setiap sahabat merasa menjadi yang paling dekat dengannya. Nabi adalah teman bagi kaum-kaum terpinggirkan sementara dimasa sekarang kita menyebut mereka orang-orang malas. Nabi adalah pemimpin negara yang tak punya harta sekaligus tak meninggalkan hutang pada detik-detik kepergiannya. Nabi mengajarkan pengikutnya untuk mencintai alam dan menjaga ekosistem dengan tidak berlebih-lebihan memakainya sekalipun itu adalah air untuk berwudhu. Nabi adalah suami yang mampu mengungkapkan cinta, meminta pendapat sekaligus bersikap tegas ketika harta dan kecemburuan mulai diributkan oleh istri-istrinya. Nabi adalah figur sempurna seorang ayah yang mencintai anak-anak, mendengarkan anak-anak, dan rela memendekkan shalatnya ketika mendengar ada bayi menangis. Bayi, katanya juga shalat ketika memanggil-manggil ibunya. Nabi menciumi anak-anak, bermain bersama mereka, meletakkannya di pundaknya ketika para ayah bahkan tak pernah terpikir untuk melakukannya.

Nabi, dengan segala sifat kemanusiaannya, juga terkadang bersedih. Beliau bersedih ketika istrinya, Khadijah yang telah menjadi pendukungnya selama lebih dari 20 tahun pergi meninggalkannya. Beliau dirundung duka ketika pamannya yang seumur hidup telah menjadi pelindungnya harus pergi tanpa pernah menjadi pengikutnya. Beliau menangis ketika, Ibrahim putra semata wayangnya harus pergi di usianya yang masih kecil. Nabi terluka ketika sahabat meragukan keputusannya dan saling berselisih karena harta rampasan perang. Sungguh pun Nabi tetap bersabar, ketika orang-orang yang berjanji untuk berkoalisi dengannya melakukan pengkhianatan. Nabi, menjadikan setiap kesedihan, luka dan kegelisahan sarana pelembut hati untuk senantiasa menghadapkan wajah pada tuntunan Ilahi.

Beliau bangun untuk shalat saat penghuni dunia sedang terlelap. Beliau berdoa kepada Tuhan saat saudara-saudaranya kehilangan harapan. Dan beliau, tetap bersabar dan konsisten dalam meghadapi permusuhan dan hinaan saat banyak manusia berpaling darinya.

“Sesungguhnya telah datang padamu seorang Rasul dari kaummu sendiri, berat terasa olehnya penderitaanmu, sangat menginginkan (keimanan dan keselamatan) bagimu, amat belas kasih lagi penyayang terhadap orang-orang mukmin” (QS 9:128)

Success_Ladder

Untuk Dinar, dalam bilangan yang keduatujuh
Pada hari dimana pertama kalinya kau menghirup udara dunia
yang fana
Beliaulah, hadiah Tuhan paling indah bagi sepanjang hidup
Bacalah, dekatilah, teladanilah
Maka dalam bilangan waktu semenjak hari ini
Akan semakin kau temui ihwal penciptaanmu di bumi
Barakallahu fi umriki

Depok, 9 Ramadhan 1437, 14 Juni 2016
Dalam keheningan substansi kehidupan

Diposkan pada Uncategorized

Tertatih

Sudah kuniatkan saja
Nantinya kesunyian akan menjadi teman
Pada malam-malam yang temaram
dan tengadah lemah di haribaan

Tak perlu lagi aku riuh rendah suara penyambutan
yang digaungkan dengan gelak tawa kehilangan makna
dan sumpah-sumpah fana tanpa nyawa
yang merajai hati manusia

Nyatanya kini aku tertatih
Dalam kelemahan jasad yang membuatku hanya bisa berkata lirih
Di atas seonggok dipan ringkih

Sungguhlah tak sekalipun manusia boleh tinggi hati
Pada niat lurus sekalipun
Pada laku baik sekalipun
Sebab kehendak nurani, sebenar-benarnya bermuara pada Yang Maha Suci
Maka yang dirasakan seharusnya adalah kelemahan diri

Kini aku benar-benar tak berdaya
Mengharap untuk tetap mendapat sinaran
Pada bulan yang bercahaya
Semoga

Depok, 5 Ramadhan 1437
Dalam kelemahan fisik masa-masa detoksifikasi