Diposkan pada Semesta di kepalaku

Sewindu

Tak ada yang bernama waktu jika itu adalah persoalan mencintai dengan tulus. Dalam kehidupannya yang tidak mudah, jalan cinta memberinya sebuah terang terhadap memburamnya keberanian yang sesekali datang mengahantui. Kadang dalam tatapan riuh rembulan yang menenangkan, yang dia ingat hanyalah cintanya yang terpendam dan keajaiban tentang dongeng keterpisahan.

Dia adalah perempuan yang menyimpan ukiran nama seorang lelaki dalam hujan. Mencintai dalam sembilan puluh enam purnama bernama sewindu. Dan berjalan dalam kesendirian mencari makna dalam segala ketakmudahan. Kenapa begitu, kenapa ia memendamnya dalam purnama sebanyak itu, katanya, jiwanya merasa tenang justru ketika kerinduan datang menyapanya, menusuk-nusuk hatinya pada seorang lelaki dalam hujan.

Sewindu, adalah mudah baginya ketika dalam rangkaian waktu tersebut mimpi-mimpinya telah tercipta. Pernah ia berkata dalam sebuah sebab, “jika waktu mengijinkanku bersamanya walau sedikit, mungkin keberadaanya justru tidak berarti apa-apa.” Aku mengerti, ia menumbuhkan rinai tawa dari segala duka, justru ketika keterpisahan itu menjadi takdirnya.

Kini aku tahu, baginya, sewindu waktu berjalan adalah rangkaian pembelajaran. Ia sedang menguji hatinya sendiri, sedang mengukir kerinduannya sendiri, yang tanpa usaha semacam itu, barangkali ia tak akan benar-benar menemuinya. Tadinya, hidupnya adalah tentang bertahan dan menghindar. Kini, ia telah menemukan sendiri, titik dimana ia harus beranjak pergi. Tak bersamanya, adalah sebuah kesakitan yang membebaskan. Karena ia telah mampu, membuat kehidupannya terbebas dari kerinduan tak terjawab semacam itu. Entah seperti apa waktu membawanya kelak, ia berkata dalam lirih senyumnya, cinta kepadanya adalah sebuah pembelajaran yang tak terlupakan. Mungkin juga bagi masa depan. Lihatlah, bagaimana karena cinta terpendamnya itu, ia telah gagah melangkah menjemput cinta tuhan yang menghampirinya.

goodwp.com_29932

A Tale of Woman in The Rain