Diposkan pada Film, Musik dan Buku

Istirahatlah Kata-Kata (Solo, Solitude)

Pertama kali mendengar bahwa sosok Wiji Thukul akan difilmkan tahun lalu, saya telah bertekat untuk menontonnya, bersama dengan orang yang tepat. Terlepas dari pengetahuan saya tentang sosok Wiji Thukul itu sendiri. Saya selayaknya generasi milenial yang tumbuh tanpa benar-benar tahu apa itu reformasi, demokrasi dan tokoh-tokoh di baliknya, termasuk Wiji Thukul. Kecuali mereka yang pernah menjadi aktivis kiri dan banyak mendatangi forum-forum diskusi, nama Wiji Thukul barangkali begitu asing sebagai salah satu sosok yang pernah menentang rezim. Saya termasuk diantaranya, sampai dengan sajak-sajak dalam Nyanyian Akar Rumput dikutip oleh banyak orang yang tulisannya saya baca dan entah karena apa, kata dalam sajak-sajak puisi WIji Thukul seperti bergaung di dalam hati saya.

Wiji Thukul, banyak orang yang mengenalnya sebagai seorang sastrawan. Dulu, saya mengira,ia adalah aktivis buruh. Namun hidupnya sesungguhnya sangat bersinggungan dengan politik perlawanan dan juga seni. Bersama Partai Rakyat Demokratik (PRD) yang didirikan oleh sekumpulan aktivis perlawanan, ia pernah menjadi bagian penentang rezim orde baru yang membuatnya masuk ke dalam daftar orang yang diburu. Selain itu, Wiji Thukul juga sangat aktif dalam teater dan musik yang menjadi dunianya semenjak muda dan berkali-kali melakukan aksi dengan para petani.

Wiji Thukul, lahir dari sebuah keluarga sederhana, ayahnya seorang tukang becak dan ibunya menjual ayam bumbu. Ia memutuskan berhenti sekolah di sekolah menengah atas karena kesulitan keuangan yang dihadapi. Kemudian memutuskan bekerja untuk menyambung hidup dengan berjualan koran, tukang pelitur di perusahaan mebel dan calo karcis bioskop (wikipedia). Kendati demikian, di rumahnya ditemukan ratusan buku-buku dan manuskrip atas puisi-puisinya yang menjadi ketertarikannya sejak ia berada di bangku SD. Wiji Thukul, telah menunjukkan pada kita, betapapun berat kehidupan diri sendiri yang dijalani, tak membuatnya berhenti untuk berjuang mengikuti kata hati. Hidupnya sederhana, tapi bermakna bagi banyak orang.

Film Istirahatlah Kata-Kata, menjadi pembuka tahun 2017 ini dengan amat mengesankan. Pertama, sebelum akhirnya ditayangkan di bioskop komersial dalam negeri, film ini telah terlebih dulu ditayangkan di beberapa festival film internasional seperti Locarno (Swiss), Vladivostok (Rusia), Rotterdam (Belanda) dan lain-lain. Dan sebagaimana film festival pada umumnya, saya percaya selalu ada yang berbeda dan bernilai dari sebuah film yang telah diakui oleh masyarakat film internasional dari film komersil lainnya. Ini terjawab oleh sosok-sosok yang di balik pembuatan Istirahatlah Kata-Kata.

Yosep Anggi Noen, Okky Mandasari, Marissa Anita dan Gunawan Maryanto, misalnya, adalah nama-nama yang secara umum barangkali belum banyak dikenal dalam dunia film nasional, namun karya-karyanya selalu tidak main-main. Pemain utama yang berlatar belakang teater menambah keyakinan saya bahwa film ini akan terasa sangat luar biasa. Maka saya merelakan diri jauh-jauh ke Bandung untuk melihat bersama seorang sahabat saya, Elin yang sama seperti saya, dulunya pernah bergabung dalam sebuah kelompok teater semasa SMA, hanya untuk supaya saya dapat berdiskusi dengannya tentang film ini.

Yosep Anggi Noen, punya pilihan yang tepat untuk lebih mengeksplorasi kehidupan Wiji Thukul sebagai manusia biasa daripada menceritakan mengenai kronologis peristiwa yang dialaminya dengan mengambil masa pelarian di Pontianak selama delapan bulan. Menurut hasil risetnya, itu adalah periode paling krusial dalam hidupnya, ketika untuk pertama kalinya Wiji Thukul ditetapkan sebagai tersangka. Dan film ini menggambarkan dengan sangat apik apa yang diungkapkan Wiji Thukul “ternyata, jadi buron itu jauh lebih menakutkan daripada menghadapi sekompi kacang ijo bersenapan lengkap yang membubarkan demonstrasi.” Saya dan Elin, beberapa kali merasakan gaung ketakutan ketika Wiji Thukul diceritakan harus berpindah dari satu tempat ke tempat lain, tidak tidur dan bertemu tentara tanpa diduga.

Simbolisasi yang disajikan dalam film ini menjadikannya terasa sunyi sekaligus dalam. Penonton diberi kesempatan untuk terpaku dan merasakan, ketika melihat Wiji Thukul tidak tidur dan tak melakukan apa-apa selain diam,ketika Sipon melihat di kejauhan, ketika Wiji Thukul mengayuh sepeda lalu diam dan mendengarkan narasi puisi dan musik sebagai latar suaranya. Pada adegan-adegan seperti itu, kami terdiam dan tanpa sadar menitikkan air mata. Ini pertama kalinya, saya menonton film tanpa banyak bercakap dengan teman saya.

Beberapa blocking juga terasa unik. Misalnya ketika Wiji Thukul, Thomas dan Martin minum teh di pinggiran Kapuas dishoot secara jarak jauh. Terdapat adegan-adegan pendukung diantaranya seperti motor lewat dan pemain gitar di dekatnya. Adegan ini mengingatkan saya beberapa teknik panggung teater yang dulu pernah diajarkan oleh pelatih saya saat di teater. Saya tidak begitu tahu apa namanya, namun penggambaran seperti ini di film terasa tidak biasa.

Last but not least, Gunawan Maryanto sebagai Wiji Thukul dan Marissa Anita sebagai Sipon menjadi dua sosok yang hingga hari ini membuat saya belum bisa move on dari film Istirahatlah Kata-Kata. Diamnya ekspresi Gunawan Maryanto sebagai Wiji Thukul telah menggambarkan banyak hal, kebingungan, ketakutan sekaligus keberanian. Saya bahkan merasakan kesedihan hanya dengan melihat Wiji Thukul mengayuh sepeda dari belakang dan mendengarnya bicara yang sedikit pelo. Benar-benar kelas seorang sutradara teater. Marissa Anita, telah menjadi favorit saya sejak dulu pertama kali melihatnya sebagai anchorwoman. Saya tahu bahwa ia tergabung dalam sebuah kelompok teater, namun saya tak menyangka bahwa permainannya bisa semengesankan ini. Sebagai Sipon, ia menggunakan bahasa Jawa logat Solo hampir sempurna. Pengucapannya tidak medok berlebihan atau dibuat-buat. Istirahatlah Kata-Kata, ditutup dengan adegan pamungkas saat Sipon menangis mengeluarkan segala kebingungannya, tentang suaminya, yang baginya antara ada dan tiada. Diantara segala duka dan bahaya yang dialaminya, tangisnya keluar justru karena suaminya ada di sisinya.

Dari jauh saya berharap, film-film simbolis seperti ini akan lebih banyak dibuat.

cr pic. rollingstone.id
cr pic. rollingstone.id

kuterima kabar dari kampung

rumahku kalian geledah

buku-bukuku kalian jarah

tapi aku ucapkan banyak terima kasih
karena kalian telah memperkenalkan sendiri
pada anak-anakku
kalian telah mengajari anak-anakku
membentuk makna kata penindasan
sejak dini